Kamis, Mei 22, 2014

belajar dari Masterchef Australia 3

Masterchef Australia 3 sebenarnya sudah berlangsung sejak 2011 lalu. 
tapi di indonesia baru diputar di sebuah tv cable beberapa bulan belakangan. entah sih apa sudah diputar sebelumnya atau belum, tapi saya baru nonton di sesi yang ini. 

ada yang bikin saya takjub dari setiap episode-nya. bukan resep atau metode memasaknya ya, karena untuk membahas itu semua sungguh diluar kemampuan saya ^^. 
takjub adalah ketika semua peserta SADAR ada dalam sebuah kompetisi dimana ada yang kalah dan menang.
takjub manakala setiap peserta MAU MENERIMA kekalahan atas kesalahan atau keluputannya sendiri. 
takjub apabila setiap peserta bisa begitu SUPPORTIF dan ikut merasakan kebahagiaan pada lawannya yang bisa memenangkan sebuah tantangan. 
takjub ketika ada salah satu tim kalah dalam sebuah tantangan mereka TIDAK PERNAH menyalahkan si captain. 

di saat negara kita dipenuhi issue miskinnya empati bahkan dari pemimpinnya sendiri, saya sungguh bahagianya melihat tayangan ini. 

saya tak punya banyak kenangan kompetisi di masa kecil saya. tak punya piala sama sekali yang berukir nama saya. tak punya prestasi berarti baik berupa plakat maupun piagam. jiwa kompetisi dalam dirii saya mungkin tak ada sama sekali. pasrahan. 

kompetisi yang dihadapi pandji pertama kali adalah lomba sepeda hias tingkat taman kanak kanak. kami lalu menghias sepeda bersama, prinsip saya kala itu "pakai barang yang ada di rumah, tidak perlu beli." dari piring kertas, alas kue, sampai pita2 semua hasil bongkar lemari. kami menghias bersama. tak ada target menang atau apapun. yang saya ambil poin saat itu adalah "pandji terlibat langsung dlm menghias sepeda untuk lombanya sendiri". 
hasil kami jauh dari heboh. pada bagian depan malahan hasil coret2nya si ayah. 
pandji gembira dan puaaas bersepeda keliling kampung pada hari H. melihat itu saja saya sudah senaaang sekali. 

tak diduga tak dinyana pandji meraih juara 3 hari itu. bangga dan bahagianya luar biasa dia. dan diluar dugaan saya, beberapa anak yang tidak menang menangis keras, merajuk minta piala dan ngambek tidak mau pulang. 
saya justru lebih siap menghadapi situasi yang itu. sudah berbekal ilmu akan menjelaskan pada pandji apa itu lomba, kenapa ada yang menang dan kalah, dan bagaimana menghadapinya. 

tapi kembali lagi saya syok, hari itu banyak ibu akhirnya MEMBELI piala demi menghentikkan tangis si anak. sekolah tentu saja dengan senang hati menyediakannya. 
kalau anak tak bisa menerima kekalahannya sejak dini, lalu bagaimana kelak dewasa nanti, wahai para orang tua yang terhormat? 

kompetisi kedua yang kami hadapi adalah "lomba peragaan busana dalam rangka hari kartini" kali ini dari sekolah yang berbeda. 
saya tetap pada prinsip "pandji harus terlibat dari awal". konsep dan baju adat yang akan dikenakannya adalah pilihannya sendiri, tanpa saya luput menjelaskan resikonya karena pilihannya adalah yang ribetnya naujubilah. pandji setuju. 

pada hari H dia membuktikan komitmennya. melenggok riang di panggung dan menikmati sekali penampilannya hari itu. kembali, pandji meraih juara 3 :) 
dan saya kembali melihat tangis dan rengekan anak anak yang juga menginginkan piala. 
tapi tak ada satu pun orang tua yang membelikannya untuk  si anak. sekolah pun tidak menyediakannya. masing2 ibu punya penyelesaian sendiri dalam menghadapi si anak. 
pastinya dengan kalimat positif yang juga menguatkan, bukan menjatuhkan :) 

yak. saya berada di "dunia" yang tepat. *lah kemaren2 dimana Ren? :)))

kembali lagi pada Masterchef Autralia 3. 
mereka pastilah bukannya tiba2 menjelma menjadi orang dewasa yang sebegitu supportifnya dalam sebuah kompetisi. sanggup menerima kekalahan bukanlah hal yg mudah dihadapi siapapun. tapi bagaimana kita bisa belajar dari kesalahan, itu yang penting. 
bagaimana jadinya kalau sejak kecil mereka dibiasakan "membeli" piala dalam setiap kompetisi? pastilah hasilnya jauh berbeda. 

empati tidak hanya dimiliki 1-2 peserta, tapi -kalau boleh saya berlebihan- semuanya. 
salah satunya ketika alana yang sama sekali tidak sakit hati pada dani saat harus menggantikan dani menghadapi tes eliminasi - hanya karena dani punya pin imuniti-. alana menghadapinya dengan tetap mengerahkan kemampuan memasaknya saat itu. dan dia membuktikannya. terhindar dari eliminasi. 
lalu tim yang tidak pernah menyalahkan sang captain apabila kalah dalam tantangan. 
dan bagaimana mereka saling support ketika teman2nya berada dalam tantangan eliminasi. 

sungguh. "hanya" bermodal empati yang dipupuk pada anak sejak dini pasti damai lah negara kita tercinta. 

dan saya kutipkan disini:
penelitian Daniel Goleman (2000:44) mengatakan bahwa IQ hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan Emotional Quotient (EQ) menyumbang 80% seperti bagaimana anak dapat mengelola emosi, mengatasi frustasi, memotivasi diri, empati, dan bagaimana bekerja sama. diambil dari buku "Temukan Bakat Anak Anda" oleh Nila Purnamawati & Widianto Setiono. 

dari saya. 
tak perlu pergi Australia untuk bisa punya empati. 
mulai dari diri sendiri, sejak dini. 
lalu kita rubah nasib bangsa sendiri. 

*****



0 komentar:

 

Blog Template by BloggerCandy.com